SELAMAT DATANG DIBLOG SAYA BALKAR AGAMAKU
Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   

Makalah Tentang Veda








I
PENDAHULUAN

        Veda memiliki arti dan makna “pengetahuan”.   Veda merupakan pedoman yang digunakan oleh umat Hindu dalam menjalankan kehidupan sehari – hari. I.B. Supartha (2009 : 6) menyebutkan Veda adalah wahyu Tuhan atau sabda suci yang diturunkan oleh Sang hyang Widhi untuk semua umat manusia di Jagat Raya ini bukan hanya untuk segolongan umat manusia saja. Kitab suci Veda bersifat universal, semua ajaran dalam Veda dapat dipelajari oleh semua mahluk di dunia ini.
        Secara etimologi kata Veda  berasal dari kata "Vid" dalam bahasa sanskerta, yang artinya mengetahui atau pengetahuan. Veda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab Suci Veda dikenal pula dengan Sruti, yang artinya bahwa kitab suci Veda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran suci dengan kemekaran intuisi para maha Ṛṣi. Juga disebut kitab mantra karena memuat nyanyian-nyanyian pujaan. Dengan demikian yang dimaksud dengan Veda adalah Sruti dan merupakan kitab yang tidak boleh diragukan kebenarannya dan berasal dari Hyang Widhi Wasa.
        Veda merupakan sebuah saripati pengetahuan sejati yang dianugrahkan oleh Tuhan demi kesejahteraan umat manusia. Sayanacharya (pencatat ‘Veda’ zaman dulu) mengemukakan definisi Veda adalah kitab kuno yang menguraikan tentang cara – cara mencapai tujuan yang diinginkan dan juga cara – cara menyelamatkan seseorang dari bencana. Seperti kita membutuhkan mata untuk melihat dunia fisik, demikian pula halnya, juga kita membutuhkan mat Veda untuk melihat unsur – unsur yang maha suci. Sejak zaman dulu Veda telah dijadikan landasan atau pedoman masyarakat dalam bertindak. Veda bisa dipelajari oleh seluruh umat manusia di dunia ini, seperti yang tertuang jelas dalam kitab Yajur Veda XXVI.2 sebagai berikut :
Yathemāṁ wācaṁ kalyāṇim
Āwadāni janebhyaḥ
Brahma rājanyābhyāṁ
Śūdrāya cārayāya ca
Swāya cāraṇāya ca
Terjemahannya :
Aku telah ajarkan sabda suci (Veda) ini kepada seluruh umat manusia, Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra, kepada semua orang dan orang – orang asing sekalipun.
Siapapun bisa mempelajari Veda tanpa terkecuali, karena Veda juga sebagai kitab suci yang merupakan sumber Dharma (Vedo ‘khilo dharma mūlaṁ) dan bukan karangan manusia (Apauruseya). Veda merupakan kebenaran suci yang ada untuk selama – lamanya (Sanatana Dharma).  




II
PEMBAHASAN

1.      Sifat Veda Anādi-Ananta
Tidak berawal – tidak ada kepengarangan
        Veda disebut Anādi yaitu tanpa awal dari segi waktu. Artinya sesuatu atau yang lebih tua dari Veda, tidak ada. Jadi Veda sudah ada sejak kapanpun. Veda tidak berawal, karena merupakan Sabda-Nya telah ada sebelum alam diciptakan oleh-Nya (Titib, 1996 : 36). Ini sangat bertolak belakang dengan logika. Dewasa ini, suatu buku memiliki syarat kepengarangan atau setidaknya ada sumber yang jelas mengenai buku tersebut. Tapi lain halnya dengan kitab suci Veda, Veda tidak ada yang mengetahui siapa yang mengarang dan kapan Veda itu ada.  Dalam mantra – mantra Veda banyak menyebutkan tentang poara maha Ṛṣi sehingga banyak orang berasumsi bahwa Veda diciptakan atau dikarang oleh para Ṛṣi dan para Ṛṣi mendapatkan Wahyu dari Sang Hyang Widhi. Akan tetapi asumsi ini tidak sepenuhnya benar, karena menurut definisi Veda, Veda adalah“Apourusheya” atau tidak bersumber dari manusia. “Pourusheya” adalah karya manusia. Karena Veda bukan karya manusia, para Ṛṣi yang adalah manusia tidak mungkin menulisnya (Sri Chandrasekharendra, 2009 : 4).
        Seperti halnya benua Amerika, yang ditemukan oleh Columbus. Hal itu bukan berarti mengatakan bahwa Columbuslah yang menciptakan benua Amerika. Jadi benua Amerika sudah ada sebelum Columbus menemukannya, hanya saja Columbus membantu manusia, sehingga benua Amerika diketahui oleh umat manusia. Sama halnya dengan Veda, Veda sudah ada sebelum maha Rsi ada, hanya saja para Ṛṣi lah yang menemukannya dan menyampaikan kepada umat manusia. Dan mantra – mantra sudah ada; selalu ada. Karena para Ṛṣi menemukannya, maka nama mereka dikaitkan dengan mantra tertentu (Sri Chandrasekharendra, 2009 : 5). Asumsi lain mengatakan Veda diciptakan bersamaan dengan penciptaan alam semesta. Artinya Veda diciptakan ketika Brahma menciptakan alam semesta. Akan tetapi asumsi ini keliru karena dalam kitab – kitab sastra yaitu Srimad Bhagavatam, menyebutkan bahwa Veda sudah ada sebelum penciptaan karena Brahma sendiri dikatakan melakukan penciptaan dengan bantuan mantra – mantra Veda yang hanya ada sebagai suara di dalam ruang. Lalu, Jika mantra – mantra disebut “Anadi”, apakah artinya mereka selalu ada? Dimanakah mereka berada? 
        Sri Chandrasekharendra (2009 : 6) menyebutkan Tuhan tidak menciptakan Veda jika Dia dan Veda keduanya bersifat Anādi. Jika Ia menciptakannya, maka Veda mempunyai awal. Dalam BrihadharanyakaUpanisa (2,4,10) mengatakan bahwa Veda dalam bentuk Rig, Yajur, Sama dan Atharva adalah nafas Iswara; ‘Nishwasitam’ adalah kata yang digunakan untuk pengeluaran nafas.
Dalam Bhagavad Gita Bab 15 sloka 15 menyebutkan :
Sarvasya cāhaṁ hṛdi sanniviṣṭo
mattaḥ smṛtir jñānam apohanaṁ
vedaiś ca sarvair aham eva vedyo
vedānta-kṛd veda-vid eva cāham
Terjemahan :
Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; memang Akulah yang menyusun Vedānta, dan Akulah yang mengetahui Veda.
        Sri krisna menjelaskan bahwa Dia tidak menciptakak Veda, melainkan dia diketahui oleh Veda dan Dia mengetahui Veda. Lebih jaud Dia tidak menyebutkan diri-Nya sebagai yang membuat Veda, tapi sebagai orang yang menjadi subyek semua Vedanta atau Vedantakrit, buka sebagai Vedakrit. Ia menyebutkan diri-Nya sebagai sendiri sebagai hasil akhir evolusi manusia, bahkan sebelum penciptaan, Iswara dan Veda berada bersama – sama.
        Dalam Bhagavata Purana juga tidak berbicara bahwa Tuhan telah membuat Veda, Veda dikatakan sebagai manifestasi dari jantung hatinya. Kata yang digunakan adalah ‘Sputa’ yang berarti manifestasi tiba – tiba dari sesuatu yang sudah ada. Jadi Veda merupakan bagian dari Tuhan atau nafas Tuhan.

Veda Tanpa Akhir
        Dewasa ini, seperti dijelaskan bahwa Veda tidak berawal “Anādi”, dan Vedapun tanpa akhir “Ananta”.Sehingga sering dikatakan bahwa Veda bersifat Anādi-Ananta. Titib (1996 : 36) menyebutkan bahwa Veda tidak berakhir karena ajarannya berlaku sepanjang jaman. Veda tidak akan pernah putus atau berakhir. Seperti Genitri yang merupakan lambing ilmu pengetahuan yang tak terputus, begitu juga halnya dengan Veda, takkan terputus dan takkan berakhir. Seperti  yang dijelaskan dalam buku Peta Jalan Veda, Veda telah ada sebelum penciptaan dunia ini, dan mantra - mantra Veda merupakan nafas dari Iswara, oleh karena itu Veda juga akan tetap ada walaupun dunia ini telah pralaya. Banyak sastra – sastra dan tokoh – tokoh Hindu meyakini bahwa Veda akan tetap ada sampai kapanpun.

2.      Para Ṛṣi  Penerima Wahyu
Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima wahyu disebut Rsi, kata ini berarti yang memandang, melihat atau yang memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Dalam perkembanganya kita jumpai berbagai sebutan terhadap orang-orang suci antara lain : Muni, Sadhu, Swami, Yogi, Sannyasi, Acarya, Upadhyaya dan lain-lain dan di Indonesia pada jaman dahulu kita mengenal istilah Mpu atau Bhujangga, kini para Pandita dari golongan Vaisnava di Bali disebut pula dengan Rsi. Untuk membedakan Rsi penerima wahyu Veda dengan Rsi para pandita dewasa ini, maka untuk yang pertama disebut Maharsi. Maharsi ini dapat disebut sebagai nabi bagi umat Hindu dan jumlahnya tidaklah seorang, melainkan cukup banyak. Seorang Maharsi adalah tokoh pemikir dan pemimpin agama, ia juga seorang ”Jnanin”, filosuf dan pejuang dalam bidang agama. Ia adalah penyebar ajaran agama dan sekaligus moralis, pendeknya guru dengan berbagai sifat istimewanya yang serba mulia. Ia rendah hati dan tahan uji, ia memiliki pandangan yang luas dan mampu menatap masa depan, mampu mengendalikan indrianya, suka melakukan tapa, brata, yoga, samadhi, karena itu ia senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai pemimpin agama ia adalah pengayom yang memberikan keteduhan dan kesejukan kepada siapa saja yang datang untuk memohon bimbingannya.
Dengan sifat-sifat tersebut di atas, seorang Rsi adalah seorang rohaniawan, agamawan dan sekaligus seorang pemimpin. Di dalam kitab-kitab Purana kita jumpai pengelompokkan Rsi ke dalam 3 katagori, yaitu :
1.      DevaRsi,
2.      BrahmaRsi,
3.      RajaRsi.
Dari pengelompokan Rsi diatas,, secara tidak langsung kita mengetahui bahwa tidak semua Rsi berstatus sebagai ”penerima wahyu”. Pengertian Rsi pada mulanya dipergunakan secara tradisional yang dianggap mampu membongkar rahasia Veda. Keterangan ini dapat kita jumpai dalam kitab Nirukta II.11, salah satu kitab Vedangga, yang menyatakan : ”Bahwa para Rsi ialah mereka yang memperoleh mantra (rsayah mantradrastarah)”.
      Dalam agama Hindu begitu banyak memiliki Rsi dan hal ini tidak menghambat akan perkembangan agama Hindu tersebut karena pada hakekatnya Tuhan Yang Maha Esa menggunakan banyak media untuk menyampaikan ajaran suciNya kepada umat manusia. Hindu berpandangan justru dengan banyaknya Rsi itu umat mendapatkan teladan, sosok figur dan penampilannya menjadi panutan, wejangan-wejangannya memberikan kesejukan hati dan kebahagiaan yang tiada taranya, misalnya karya Maharsi Vyasa yang memadukan unsur sejarah dan mitologi dalam karya besarnya Mahabharata dan kitab-kitab Purana senantiasa dinikmati oleh mereka yang kehausan untuk mereguk amrta suci ajarannya (Titib, 1996 : 38)
      Disamping pengelompokan ke dalam 3 katagori tersebut di atas, kitab Matsya Purana dan Brahmanda Purana menyebutkan 5 kelompok Rsi, sebagai berikut :
1.      BrahmaRsi,
2.      SatyaRsi,
3.      DevaRsi,
4.      SrutaRsi,
5.      RajaRsi.
      Pengelompokkan ini merupakan penyempurnaan pengelompokan sebelumnya dengan menambahkan 2 kelompok baru, yaitu SatyaRsi dan SrutaRsi. Dari istilah-istilah ini dapat dipahami bahwa nama-nama kelompok ini hanya bersifat relatif fungsional dihubungkan dengan fungsi dan sifat yang khas dari seorang Rsi. Selanjutnya seorang Rsi sebagai Bhatara (pelindung) sekaligus seorang pemimpin baik dalam bidang kerohanian, politik dan pemerintahan dan bahkan menjadi panglima perang sebagai contoh adalah Rsi Bhisma, Drona dan sebagainya, di Bali pada masa pemerintahan Dharma Udayana Var madeva, juga seorang Rsi atau Mpu, yakni Mpu Rajakrta menjabat Senapati Kuturan dan kemudian nama ini populer menjadi Mpu Kuturan yang merintis Kahyangan Tiga dengan desa Pakraman di daerahini. Seorang BrahmaRsi menurut kitab Brahmanda Purana tugasnya mempelajari dan mengajarkan Veda, jadi fungsinya sebagai pandita. Adapun seorang yang dinyatakan sebagai SatyaRsi adalah gelar para Rsi yang mempunyai asal-usul langsung dari Tuhan Yang Maha Esa pada permulaan penciptaan dunia ini. Beliau pula yang mula-mula disebut sebagai Bhatara, misalnya Bhatara Manu dan lain-lain. Kelompok DevaRsi dikenal pula dengan nama Prajapati. Di dalam kitab brahmanda Purana disebutkan adanya 9 Prajapati, yaitu : Marici, Bhrgu, Angira, Pulastya, Pulaha, Kratu, Daksa, Atri dan Vasistha. Di antara 9 Prajapati itu ada pula yang disebut-sebut namanya dalam kitab Rg Veda, sebagai Rsi yang dikaitkan dengan mantra-mantra dalam kitab suci ini. Adapun 4 kelompok lainnya (Brahma, Satya, Sruta dan RajaRsi) di dalam Brahmanda Purana masing-masing disebutkan berturut-turut : Sonaka, Sananda, Sanatana dan Sanatkumara.
Selain nama – nama Rsi diatas, adapula yang menyebutkan sekelompok Rsi yang menerima wahyu dari Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan “Saptarsi”. Saptarsi berasal dari dua kata yaitu Sapta yang artinya tujuh dan Ṛsi artinya orang – orang suci penerima wahyu. Jadi Saptarsi adalah tujuh orang – orang suci penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam Vedà . Adapun Saptarsi penerima wahyu yaitu sebagai berikut :
Ṛsi Grtsamada
Maha Ṛsi Grtsamada adalah maharsi yang paling banyak dihubungkan dengan turunnya mantra – mantraVedà , terutama Rg Vedà  mandala II. Akan tetapi kehidupan mahaṛsi Grtsamada tidak banyak diketahui. Dari beberapa catatan diketahui bahwa Ṛsi Grtsamada adalah keturuna dari Sunahotra yang merupakan keturunan Bharadvaja, keluarga Angira. Adapula penjelas lain mengatakan bahwa Ṛsi Grtsamada merupakan keturunan Bhrgu. Dengan demikian sejarahnya tidak diketahui dengan pasti, sedangkan di dalam Mahabharata ia disebutkan keturuna Maharsi Sonaka.
Ṛsi Visvamitra
Mahaṛsi Visvamitra adalah Maharsi yang kedua yang banyak disebut namanya dan dikaitkan dengan seluruh mandala III Rg Vedà . Kitab III Rg Vedà  ini terdiri dari 58 Suktha. Setelah diadakan penelitian, ternyata tidak semua Suktha itu dikaitkan dengan nama Visvamitra karena diantara mantra – mantra ada menyebutkan Maharsi lainnya seperti Kusika, Isiratha dan lain – lain. Visvamitra adalah putra Musika. Disamping itu dijumpai nama Rsi Jamadagni sebagai maharsi yang dikaitkan dengan mandala III Rg Vedà . Keterangan lain tentang Visvamitra dinyatakan bahwa Visvamitra bukan seorang Brahmanatetapi seorang Ksatriya. Penggolongan status seorang Rsi dengan Catur Varna sesungguhnya tidak begitu menentukan karena bukan merupakan persyaratan seorang Maharsi.
c. Rsi Vamadeva
Maharsi Vamadeva banyak dihubungkan dengan mandala IV kitab Rg Vedà . Kurang banyak diketahui tentang riwayat Maharsi ini. Di dalam kitab – kitab Purana diceritakan bahwa Vamadeva sempat mengadakan dialog dengan Deva Indra dan Aditi.
d. Ṛsi Atri
Maharsi Atri pada umumnya dikaitkan dengan turunnya mantra – mantra mandala V Rg Vedà . Di dalamMatsya Purana, nama Atri tidak saja sebagai nama keluarga, tetapi juga sebagai nama pribadi. Dinyatakan bahwa dalam keluarga Atri yang tergolong Brahmana dijumpai pula beberapa nama dari keluarga Atri seperti : Sayana, Udvalaka, Sona, Sukdeva, Gauragriva dan lain – lain. Dalam ceritanya dikemukakan pula informasi bahwa Maharsi Atri banyak dikaitkan dengan keluarga Angira. Dalam Rg Vedà  mandala V, tampaknya tidak hanya Maharsi Atri yang menerima wahyu untuk mandala ini tetapi juga Druva, Prabhuvasu, Samvarana, Gauraviti, Putra Sakti, dan lain – lain. Dikemukakan pula bahwa diantara keluarga Atri 36 Rsi tergolong penerima wahyu. Jadi cukup banyak dan karena itu kemungkinan nama – nama itu adalah keturuna dari Maharsi Atri.
e. Ṛsi Bharadvaja
Maharsi Baradvaja adalah Maharsi yang banyak dikaitkan dengan turunnya mantram – mantram darimandala VI, kecuali ada beberapa saja yang diturunkan melalui Sahotra dan Sarahotra. Adapun nama – nama lain seperti Nara, Garagajisva adalah Rsi penerima wahyu dari keluarga Bharadvaja. Di dalam kitab – kitab Purana dijelaskan bahwa Bharadvaja adalah putera Brihaspati, cerita ini belum dapat dipastikan kebenarannya karena disamping keterangan lain yang mengatakan bahwa Samyu dengan Bharadvaja masih dalam satu keluarga. Kitab – kitab Purana tidak banyak memberikan penjelasan.
f. Ṛsi Vasistha
Nama Vasistha sering digunakan sebagai nama keluarga kadang kala sebagai nama pribadi. Rsi Vsisthabanyak dikaitkan dengan turunnya mantra – mantra mandala VII Rg Vedà . Salah seorang keturunan Rsi Vasistha adalah Rsi Sakti yang juga terkenal sebagai penerima wahyu. Tentang keluarga Vasistha tidak banyak kita kenal. Di dalam kitab Mahabharata nama Vasistha disamakan dengan Visvamitra. Di dalamMatsya Purana dinyatakan bahwa Rsi Vasistha mengawini Arundhati, saudara perempuan devarsi Narada. Dari padanya lahirlah seorang putera bernama Sakti.
g. Ṛsi Kanva
Maharsi Kanva merupakan Maharsi penerima wahyu dan banyak dikaitkan dengan mandala VIII Rg Vedà . Mandala ini terdiri dari bemacam – macam Suktha. Kanva adalah nama pribadi dan juga nama keluarga. Didalam mandala VIII dinyatakan diterima oleh Maharsi Kanva atau merupakan wahyu yang diterima oleh keluarga Sakuntala.
3.      Masa Penyusunan Mantra - Mantra Veda
        Veda bersifat Anādi-Ananta, itu artinya tak ada yang tahu pasti kapan mantra – mantra veda itu diadakan atau diciptakan. Banyak peneliti yang telah meneliti tentang umur dari Veda akan tetapi sampai sekarang tidak ada yang mengetahui. Veda diwahyukan kepada para maharsi ketika belum mengenal tulisan, dan para Rsi mengajarkan Veda secara lisan melalui system upanisad. Setelah mengenal adanya tulisanlah Veda kembali ditulis dan dikofikasi oleh Rsi Vyasa.
        Dalam buku Peta Jalan Veda menjelaskan bahwa keempat Veda, Rig, Yajur, Sama dan Atharva, dipercayai merupakan getaran di ruang dan disitesisi 5.000 tahun yang lalu pada awal dari Kali Yuga ini, oleh Bhagavan Veda Vyasa. Keempatnya terdiri dari 1.131 saakha (cabang atau kelompok) yaitu 21 dalam Rig, 101 dalam Yajus, 1000 dalam sama dan 9 dalam Atharva. Semuanya dilestarikan dalam garis pewarisan Rsi(Parampara), melalui tradisi oral, dari ayah ke anak, dari guru ke sishya (murid).
Beberapa sarjana baik dari India maupun Eropa berpendapat tentang penyusunan Veda  sebagai berikut :
a.       Vidyaranya menyatakan sekitar 15000 tahun sebelum masehi.
b.      Lokamanya Tilak Shastri menyatakan 6000 tahun sebelum masehi.
c.       Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4000 tahun sebelum masehi.
d.      Dr. Haug memperkirakan tahun 2400 sebelum masehi.
e.       Max Muller menyatakan sekitar tahun 1200 – 800 sebelum masehi.
f.       Heine Gelderen memperkirakan tahun 1150 – 1000 sebelum masehi.
g.      Sylvain Levy memperkirakan tahun 1000 sebelum masehi.
h.      Stutterheim memperkirakan 1000 – 500 sebelum masehi.
        Demikian pendapat dari para sarjana memperkirakan mengenai masa disusunnya kitab suci Veda menjadi sumber ajaran agama Hindu.

 
III
PENUTUP
1.      SIMPULAN
Veda memiliki arti dan makna “pengetahuan”.   Veda merupakan pedoman yang digunakan oleh umat Hindu dalam menjalankan kehidupan sehari – hari. I.B. Supartha (2009 : 6) menyebutkan Veda adalah wahyu Tuhan atau sabda suci yang diturunkan oleh Sang hyang Widhi untuk semua umat manusia di Jagat Raya ini bukan hanya untuk segolongan umat manusia saja.
        Veda disebut Anādi yaitu tanpa awal dari segi waktu. Artinya sesuatu atau yang lebih tua dari Veda, tidak ada. Jadi Veda sudah ada sejak kapanpun. Veda tidak berawal, karena merupakan Sabda-Nya telah ada sebelum alam diciptakan oleh-Nya (Titib, 1996 : 36). Dewasa ini, seperti dijelaskan bahwa Veda tidak berawal “Anādi”, dan Vedapun tanpa akhir “Ananta”. Sehingga sering dikatakan bahwa Veda bersifat Anādi-Ananta. Titib (1996 : 36) menyebutkan bahwa Veda tidak berakhir karena ajarannya berlaku sepanjang jaman. Veda tidak akan pernah putus atau berakhir.
        Dalam agama Hindu orang-orang suci penerima wahyu disebut Rsi, kata ini berarti yang memandang, melihat atau yang memperoleh wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Rsi penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esadisebut dengan “Saptarsi”. Saptarsi berasal dari dua kata yaitu Sapta yang artinya tujuh dan Ṛsi artinya orang – orang suci penerima wahyu. Jadi Saptarsi adalah tujuh orang – orang suci penerima wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam Vedà .
Beberapa sarjana baik dari India maupun Eropa berpendapat tentang penyusunan Veda  sebagai berikut :
i.        Vidyaranya menyatakan sekitar 15000 tahun sebelum masehi.
j.        Lokamanya Tilak Shastri menyatakan 6000 tahun sebelum masehi.
k.      Bal Gangadhar Tilak menyatakan 4000 tahun sebelum masehi.
l.        Dr. Haug memperkirakan tahun 2400 sebelum masehi.
m.    Max Muller menyatakan sekitar tahun 1200 – 800 sebelum masehi.
n.      Heine Gelderen memperkirakan tahun 1150 – 1000 sebelum masehi.
o.      Sylvain Levy memperkirakan tahun 1000 sebelum masehi.
p.      Stutterheim memperkirakan 1000 – 500 sebelum masehi.
        Demikian pendapat dari para sarjana memperkirakan mengenai masa disusunnya kitab suci Veda menjadi sumber ajaran agama Hindu.




DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I.B. Suparta. 2009. Kemahakuasaan Tuhan dalam Weda. Surabaya : Paramita.
Maswinara, I Wayan. 2004. Rg Veda Samhita. Surabaya : Paramita.
Mittal, Dr. Mahendra._____ Intisari Veda Pesan Tuhan untuk Kesejahteraan Umat Manusia. Surabaya : Paramita.
Saraswati, Sri Chandrasekharendra. 2009. Peta Jalan Veda. Jakarta : Media Hindu.
Swami Prabhupada, Sri-Srimad A.C. Bhaktivedanta. 2006. Bhagavadgita. Indonesia : Hanuman Sakti.
Titib, Dr. I Made. 2001. Pengantar Veda. Jakarta : Hanuman Sakti.
Titib, Dr, I Made. 2001. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya : Paramita.

Ilmu Kealaman Dasar ( Tentang Segehan )











Bab I
Kata pengantar
Om svastyastu
Puja astungkara selalu kami panjatkan kehadapan ida sang hyang widhi wasa atas asungkerta  wara nugraha –Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini tak lupa kelompok kami menyampaikan banyak terima kasih kepada bapak I Wayan kantun,S.Ag.,M.Fil.H selaku pembimbing mata kuliah Ilmu Kealaman Dasar. Dan juga kepada seluruh sahabat yang membantu mengumpulkan referensi  dan memberikan kritik  serta saran yang membangun dalam penyusunan makalah ini. Akhir kata semoga  makalah ini dapat berguna bagi pembaca. Penulis juga menyadari  penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, sehingga kritik dan saran dari rekan pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan selanjutnya
Akhir kata penulis  ucapkan  terima kasih atas segenap  perhatian  rekan pembaca.
Om santi santi santi om

Penulis

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Umat Hindu memiliki beragam upakara yang digunakan untuk mengiringi upacaranya. Keanekaragaman upakara tersebut merupakan salah satu ciri khas budaya Hindu di Bali. Berbagai macam persembahan dihaturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai wujud rasa bhakti dan rasa syukur umat kehada
pan-Nya. Umat Hindu memiliki upakara untuk Upacara Bhuta Yadnya. Yaitu upakara yang dihaturkan kehadapan Para Bhuta Kala, tujuannya adalah untuk menetralisir kekuatan negative menjadi kekuatan positif yang ada di alam semesta ini.
Upakara ini yang disebut segehan. 


1.2 pembatasan masalah
 Penulis mencoba untuk membatasi masalah yang berkaitan erat dengan segahan yaitu :
a.
Apa pengertian dan makna segehan?
b.
Kepada siapa kita menghaturkan segehan?
c. Apa tujuan dari menghaturkan segehan?


1.3 tujuan penulisan
adapun tujuan penulisan sebuah makalah sebagai pencapaian dari :
a. dalam memenuhi tugas kelompok  pada mata kuliah Ilmu Kealaman Dasar
b. adanya keinginan untuk mengetahui makna dari Segehan.

1.4
metode penulisan
Metode penulisan dalam penyusunan makalah ini yaitu dengan cara penulisan studi pustaka sesuai dengan referensi atau juga dari penyimakan-penyimakan buku yang sangat erat kaitannya dengan bahasan pokok

1.5 sistematika penulisan
Sistematikan penulisan makalah ini sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II Pokok Bahasan yaitu SEGAHAN

Bab III Penutup yang berisi Kesimpulan dan saran

Bab IV sumber buku.



Bab  II
Pembahasan
2.1 pengertian dan makna  segahan
            sebelum kita melangkah pada pembahasan Segehan, penulis sedikit menuliskan tentang budaya Hindu atau Hindu yang di bali yang memiliki budaya yang begitu identik dengan Upakara yang memiliki nilai nilai luhur yang begitu besar, hal ini perlu kita sadari sebagai umat Hindu di zaman sekarang, agar nilai nilai luhur tersebut tidak luntur. Pada umumnya upakara berbentuk materi, dan bentuk materi dari pada upakara - upakara tersebut di sebut BANTEN. pada banten inilah biasanya SEGEHAN sering sebagai pelengkap untuk di haturan atau di persembahkan kepada para Bhutakala dan  juga Ancangan Iringan Para Btara dan Betari yang hadir pada pelaksanaan Upakara atau Upacara tersebut.
            Oleh karena itu banten serta segehan di bali merupakan cirri Khas yang unik yang menciptakan daya cipta yang religious yang mengandung nilai Magis, serta mengandung budaya seni dan adat. Dengan hal tersebut maka terunngkaplah suatu nilai luhur yang tiada tandingnya banten yang mempunyai daya seni dan keagungan yang luhur, sehingga
memberi andil untuk menjadikan Bali terkenal di seluruh dunia.
Maka khususnya kita dari segi umat  Hindu yang hidup pada zaman sekarang ini, dimana telah terpampang di depan mata kita suatu gejolak, kehidupan yang mempertandingkan antara sadar dan tidak sadar, adanya suatu rongrongan akan merosotnya budaya  bangsa ini, karena kita lebih cendrung mempergunakan uang dari pada kita mempergunakan hati, persaan, dan bhakti.
Besar kecilnya upacara atau yadnya, bagi mereka yang biasa hidup dalam kemanjaan seolah olah mengundang kelesuan dan keluhan. Padahal bila kita melihat sastra –sastra Hindu telah banyak menuliskan bahwa tuhan yang maha esa menciptakan alam semesta beserta isinya dengan menggunakan yadnya. Di sinilah letak kurangnya pemahaman tentang yadnya. Berkaitan dengan itu semua maka belum terlambat untuk kita mempelajari masalah yadnya yang merupakan cetusan hati suci, rasa terimakasih atas berkah hidup yang telah kita terima dari ida sang hyang widhi. Tidak perlu kita khawatir tentang banyak macam yadnya sukarnya cara membuat serta kadang – kadang ada bahan bahan dari yadnya dalam bentuk upakara tersebut sangat sulit pula untuk di cari, namun bila di landasi dengan rasa penuh keiklasan serta ketekunan dan mau mempelajarinya, maka secara otomatis kita akan merasakan kebahagiaan dam kepuasan batin. Adapun salah satu yadnya yang sudah sering kita lakukan baik di rumah ataupun di tempat tempat suci lainya, seperti menghaturkan segehan biasanya segehan di haturkan kepada para Bhutakala dan  juga Ancangan Iringan Para Btara dan Betari, yadnya ini memiliki tujuan agar terjalinnya suatu hubungan yang harmonis, dengan hubungan yang harmonis maka secara langsung kebahagiaan akan terciptakan, sebagai contoh : sebuah keluarga sederhanya yang harmonis meraka merasakan kebahagiaan yang begitu besar, seperti itulah hendaknya kita menjalani hidup ini.
            Dalam upacara bhuta yadnya dalam tingkatan yang kecil di sebut dengan segehan.
Kata segehan, berasal kata "Sega" berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam”. Dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa. disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Segehan artinya "Suguh" (menyuguhkan), dalam hal ini
segehan di haturkan kepada para Bhutakala dan  juga Ancangan Iringan Para Btara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negative dari limbah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Bhuta Kala dari kaca spiritual tercipta dari akumulasi limbah pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, yang dipelihara oleh kosmologi semesta ini. Jadi segehan yang dihaturkan di rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Jadi Caru yang paling baik adalah bagaimana kita dapat menjadikan rumah bukan hanya sebagai tempat untuk tidur dan beristirahat, tapi harus dapat dimaknai bahwa rumah tak ubahnya seperti
badan yang kita miliki yang sudah seharusnya untuk kita jaga dan kita rawat agar tetap sehat.
Segehan dihaturkan kepada aspek Sakti (kekuatan) yaitu Dhurga lengkap dengan pasukannya termasuk Bhuta Kala itu sendiri. Segehan dan Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar Bhamakertih.
Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan, pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.
Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut-sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.
Ada beberapa macam segehan yang di haturkan baik setiap hari maupun pada hari hari tertentu.

2.2  macam –macam segahan                                                                     

2.2.1. Macam - macam segehan:
A. Segehan Kepel Putih
Segehan kepel putih ini adalah segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di haturkan setiap hari.
B. Segehan Putih Kuning
Sama seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.
biasanya segehan putih kuning ini di haturkan di bawah pelinggih adapun doanya sebagai berikut :
Om. Sarwa Bhuta Preta Byo Namah.

Artinya :
 Hyang widhi ijnkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta  preta  seadanya.


C. Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)
Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah, kuning, hitam dan brumbun.
Dan penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus sebagi contoh ;

Warna Hitam menempati posisi Utara.
Warna Putih menempati posisi Timur.
Warna merah menempati posis selatan.
Warna kuning menempati posisi Barat.
Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas menempati
               posisi di tengah tengah, yang bisa di katakan Brumbun tersebut sebagai Pancernya.
Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh pemeda­l) atau di perempatan jalan adapun doa dari segehan manca warna ini adalah :
           
Om. Sarwa Durga Prate Byo Namah.
Artinya :
            Hyang Widhi Ijinkan Hamba Menyuguhkan Sajian Kepada Durga Prete Seadanya





D. Segehan Cacahan
Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih; 

• 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
• 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
• 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
• kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Kalau menggunakan 11 (sebelas) tangkih:
• 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
• 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
• 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
• kemudian diatas disusun dengan canang genten.

Keempat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng kli
won atau pada saat upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.

E. Segehan Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya yang lebih besar lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu, ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda + atau tampak dara).

Adapun maksud simbolik banten ini adalah :
• alasnya ngiru/ngiu, merupakan kesemestan alam
• daksina, simbol kekuatan Tuhan
• segehan sebanyak 11 tanding, merupakan jumlah dari pengider-ider (9 arah mata angindan arah atas bawah) serta merupakan jumlah lubang dalam tubuh manusia diantaranya; 2 lubang mata, 2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 1 lubang mulut, 1 lubang dubur, 2 lubang kelamin serta 1 lubang cakra (pusar).
• Zat cair yaitu arak (putih/Iswara), darah (merah/Brahma), tuak (kuning/Mahadewa), berem (hitam/Wisnu) dan air (netral/siwa).
• anak ayam, merupakan symbol loba, keangkuhan, serta semua sifat yang menyerupai ayam
• api takep, api simbol dewa agni yang menghancurkan efek negatif, dan bentuk + (tampak dara) maksudnya untuk menetralisir segala pengaruh negatif. 
Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima, diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor kemudian dipecahkan, di”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. Doa dalam menghaturkan segehan ini adalah :

            Om. Arwa kala perete byo namah.
Artinya :
            Hyang Widhi Ijinkanlah Hamba Menyuguhkan Sajian Kepadakala Preta Seadanya.

Setiap menghaturkan segehan lalu di siram dengan tetabuhan, tetabuhan ini bisa menggunakan air putih yang bersih, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi segehan yang di haturkan. Ketoka menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa :
            Om. Ibek Segar, Ibek Danu, Ibek Bayu, Premananing Hulun.
Artinya :
             Hyanng widhi semoga hamba di berkahi bagaikan melimpahnya air laut, air danau, dan memberi kesegaran jiwa dan batin hamba.

Ada beberapa hal yang harus kita ketahui yaitu mesegeh bedadengan mejotan atau Yadnya Sesa. Mesegeh di tunjukan kepada Bhuta kala sebenarnya bukan untuk mengusir Bhuta kala, namun kita memberikan ajengan atau suguhan agar para Bhuta kala tidak mengganggu atau bahasa balinya “Grebeda” hal ini lah yang sering di salah artikan oleh umat yang kurang memahami tentang tatanan mesegehan. Sesungguhnya di dalam  RG. Veda sudah di katakan dan di jelaskan pada istilah Bhuta ya, Dewa ya. Artinya ini adalah meraka adalah Makhluk yang sama.   Sama - sama ciptaan tuhan, namun dalam posisi sifat yang berbeda karena itu mesegeh lebih berarti Nyomnya (mengubah sifat – sifat) Bhuta kala supaya menjadi sifat dewa Dengan  begitu persembahyangan dan segala kativitas yang kita lakukan tidak lagi di pengaruhi oleh Bhuta kala. jadi kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mesegeh yang kita lakukan sebenarnnya bukan untuk mengusir para huta kala. Hal ini perlu kita sadari.

2.2.2. Unsur – unsur segehan :
 • Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan = segi 4, melambangkan   arah mata angin.
• Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
• Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
• Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
• Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
• Di atasnya disusun canang genten.
• Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi
hilang/mati.

Bab III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Mesegehan adalah caru kecil yang biasa kita lakukan sehari – hari, tujuan dalam menghaturkan segehan adalah untuk menyuguhkan atau memberi suguhan kepada para Bhuta kala agar para Bhuta kala  tidak menggangu atau Grebeda di setiap aktivitas kita,   Dalam menghaturkan segehan haruslah di landasi dengan rasa ihklas, sebab menghaturkan, menyuguhkan, ataupun memberi, bila di landasi dengan rasa yang tulus ihklas maka itulah yang di sebut yadnya, Sebab yadnya adalah pengorbanan yang tulus ihklas.




3.2 kritik dan saran
Sebagai manusia biasa yang memiliki batas – batas kemampuan di dalam menjalani kehidupan, sering kali terjadi kesalahan atau kekeliruan yang tak di sengaja. Kami sebagai Maha siswa yang haus akan Ilmu pengetahun memberanikan diri untuk menguraikan makna dan tujuan Segehan, bila ada kesalahan kata atau kekurangan dari makalah kami, dengan rendah hati kami harapkan kritik dan saran dari pembaca, sebab kritik dan saran pembaca merupakan Acuan dari pembelajaran kami agar bisa menjadi yang lebih baik. Di dalam menulis makalah.
            Di sini ada sedikit ungkapan yang membuat kami sadar akan keberadaan manusia yang tak luput dari kesalahan
Tan hana tanpa hulus
Tak ada manusia yang sempurna.
Dari kata di atas kami ucapkan kata maaf kami, jika ada kekeliruan atau kekurangan dari makalah kami.


Bab IV. Sumber buku :
-          Seri 1 upakara yadnya, melangkah kea rah persiapan upakara-upacara yadnya, Ida Putu Surayin.
Penerbit : paramita Surabaya 2004.
-          Kumplan doa mesegeh (bhuta kala)
Penerbit : pustaka manic geni 2008
-          RG. Veda. I Wayan Maswinara.
Penerbit : paramita Surabaya.

 
Copyright © 2014 SUARA BALKAR. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Creating Website and CB Blogger